Sabtu, 29 Oktober 2011

prosedur cara mendirikan yayasan tk dan paud

Penyelenggaraan Sekolah

Sekolah swasta didirikan oleh suatu badan penyelenggara berbentuk yayasan atau badan bersifat sosial dan terdaftar pada Dinas Bintal dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta serta mencantumkan azas Pancasila pada anggaran dasarnya.

mempunyai program Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPSI) yang jelas, baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan ciri khasnya : Program jangka pendek adalah program untuk jangka waktu 1 (satu) tahun pelajaran, sementara Program jangka panjang adalah program pengembangan sekolah untuk waktu minimal 3 (tiga) tahun berikutnya, program untuk menjaga kesinambungan sekolah itu sendiri.

Melaksanakan kurikulum dan ketentuan lain yang ditetapkan dan disahkan oleh Pemerintah sesuai satuan pendidikan yang akan diselenggarakan.

Memenuhi persyaratan teknis administratif dan teknis edukatif.



Persyaratan Umum :

Memiliki akte dan struktur organisasi yayasan

Memiliki hasil studi kelayakan yang mendukung dan disahkan oleh Kasudin Dikdas Kodya

Memiliki calon tenaga kependidikan

Memiliki rekening sumber dana untuk anggaran operasional

mempunyai IMB sekolah/surat perjanjian (kontrak) sewa/hak pakai bangunan gedung sekolah

Tidak menempati atau menggunakan fasilitas gedung milik Pemerintah

Membuat pernyataan tertulis akan mentaati ketentuan/peraturan yang berlaku tentang penyelenggaraan sekolah



Persyaratan Khusus :

Memiliki calon peserta didik sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang

Memiliki tenaga keterampilan yang terdiri dari Kepala Sekolah dan sekurang-kurangnya 1 (satu) Guru Tetap yang berkepndidikan minimal berijazah D!! bidang pendidikan

Memiliki sarana dan prasarana tempat bermain dan ruang sudut

Jarak lokasi dengan TK yang berada di sekitar lingkungannya kurang lebih berjarak radius 500 meter

Ekstra kurikuler (jika ada) dilaksanakan dengan tidak mengurangi jam belajar sesuai kurikulum yang berlaku



Tata Cara Pendirian :

Yayasan/Badan Penyelenggaramengajukan permohonan pendirian sekolah kepada Suku Dinas Pendidikan Dasar Kodya melalui Kasi Dinas Pendidikan Dasar Kecamatan disertai persyaratan yang lengkap.

Kasi Dinas Pendidikan Dasar Kecamatan bersama pengawas TK/SD Kecamatan menelaah berkas permohonan dan menyampaikan berkas permohonan dan rekomendasi kepada Suku Dinas Pendidikan Dasar Kodya

Dalam memberikan rekomendasi permohonan pendirian TK yang dimaksud Kasi Dinas Dikdas Kecamatan mempertimbangkan pemetaan TK yang telah ada di sekitarnya.

Suku Dinas Pendidikan Dasar Kodya berdasarkan rekomendasi dan hasil telaah tersebut menetapkan pendirian dan persetujuan penyelenggaraan TK dengan Surat Keputusan Suku Dinas Pendidikan Dasar Kodya atas nama

Persetujuan oleh Kepala Suku Dinas Dikdas Kodya diberikan secara tertulis dan dikirimkan secara resmi kepada pemohon/penyelenggara sekolah disertai dengan alasan/pertimbangan penolakan dengan tembusan kepada Kasubdin persekolahan yang terkait.



Berkas untuk mengajukan permohonan :

Pertimbangan/alasan pendirian Taman Kanak-Kanak (disahkan oleh Ketua Yayasan)

Program Kerja Yayasan (disahkan oleh Ketua Yayasan)

Akte Pendirian Yayasan (foto copy dari yang asli)

Struktur dan personaloa organisasi Yayasan saat ini (disahkan oleh Ketua Yayasan)

Surat pernyataan sanggup melaksanakan kurikulum TK

Surat keterangan status gedung dan tanah yang resmi

Gambar situasi tanah dan denah gedung (disahkan oleh Ketua Yayasan)

Struktur Organisasi TK (disahkan oleh Kepala TK)

Surat Pengangkatan Kepala TK dan Guru (foto copy dari yang asli)

Daftar riwayat hidup Kepala TK,Guru, dan Petugas Tata Usaha

Daftar nama personalia TK dalam tugasnya

Data siswa saat ini (nama dan keterangan lengkap)

Daftar inventaris TK (diketahui Kepala TK)

Terdaftar di Dinas Sosial (Instruksi Gubernus DKI Jakarta tanggal 14 Maret 1998 no 71 Tahun 1996)

Tata Tertib Taman Kanak-Kanak (disahkan oleh Kepala TK)

Laporan bulanan.



disarikan dari Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Khusus Ibukota Nomor : 397.a/2004

Kamis, 27 Oktober 2011

contoh silabus dan rpp bk

SILABUS DAN RPP BIMBINGAN KONSELING Kls. X SMA
I.SILABUS BIMBINGAN DAN KONSELING SEMESTER(1)
Sekolah : SMA 
Kelas : X (sepuluh)
Mata Pelajaran / Layanan : Bimbingan dan Konseling 
Semester : 1 /Ganjil

  1. Standar Kompetensi 
    Tugas Perkembangan 
    Siswa mampu mengenal sekolah secara benar, bersikap terpelajar, dan mampu beradaptasi secara bertanggungjawab, serta menjadi warga sekolah yang baik sebagai bukti pribadi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia
  2. Kompetensi Dasar 
    Mencapai kematangan dalam peningkatan iman, takwa, dan akhlak mulia dengan cara bersedia mengembangkan keterampilan intelektual untuk menjadi warga masyarakat yang baik
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Berbentuk PDF


II.Rencana Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling(01)
Judul Layanan : Bimbingan dan Konseling
Jenis Layanan ; Orientasi
Bidang Bimbingan : Pribadi dan Sosial
Fungsi Layanan : Pemahaman

  1. Tujuan Layanan
    Siswa mampu mengenal sekolah secara benar, bersikap terpelajar, dan mampu beradaptasi secara bertanggungjawab, serta menjadi warga sekolah yang baik sebagai bukti pribadi yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia

    1. Hasil yang Ingin Dicapai
    2. Menyadari proses masuk sekolah di SMA sebagai lingkungan hidup yang penting bagi perkembangan diri
    3. Mengenal sekolah sebagai sarana penyesuaian diri untuk mengembangkan aspek intelektual, sikap, dan keterampilan
    4. Memiliki keseriusan dalam belajar untuk berprestasi yang tinggi sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang didasarkan pada iman, rasa takwa, dan akhlak mulia yang telah dikaruniakan dari Tuhan 
  2. Sasaran Kegiatan : Siswa SMA Kelas X
  3. Materi Layanan : Sekolahku

    1. Sekolah di SMA
    2. Pengenalan terhadap sekolah
    3. Pentingnya keseriusan dalam belajar
  4. Tempat Penyelenggaraan 
    Ruang Kelas / Sarana & Prasarana Sekolah / Ruang Bimbingan / Lingkungan Sekolah / (Menyesuaikan )
  5. Semester : 1/Ganjil
  6. Penyelenggara Layanan : Guru Pembimbing
  7. Pihak yang dilibatkan : Staf Sekolah/Guru&Karyawan/Pembina OSIS/(Menyesuaikan) 
  8. Alat dan Perlengkapan
    Data Inventaris Sekolah&Sarana-Prasarana/Struktur Organisasi Sekolah/Dll (menyesuaiakan)
  9. Rencana Penilaian dan Tindak Lanjut 
    Evaluasi diri/mengisi lembar kerja/latihan/isian yang ada di dalam buku bimbingan Pendampingan secara umum dan melakukan salah satu /lebih jenis layanan( 
    menyesuaikan)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Berbentuk PDF

III.SILABUS BIMBINGAN DAN KONSELING SEMESTER(2)
Sekolah : SMA 
Kelas : X (sepuluh)
Mata Pelajaran/Layanan : Bimbingan dan Konseling 
Semester: 2/Genap

  1. Standar kompetensi 
    Tugas Perkembangan 

    1. Mencapai kematangan dalam beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dengan cara menjadi pribadi yang memiliki akhlak mulia / mendasarkan diri pada nilai-nilai kehidupan
    2. Mencapai kematangan dalam sistem etika dan nilai dengan cara menghayati hidup keseharian yang berdasarkan nilai-nilai kehidupan
    3. Mencapai kematangan agar dapat bertingkahlaku yang dapat diterima oleh masyarakat dengan cara menerapkan nilai-nilai Kehidupan
  2. Kompetensi dasar 
    Siswa mampu mengenal dan melaksanakan nilai-nilai kehidupan dalam pergaulan hidup sehari-hari
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Berbentuk PDF

IV.Rencana Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling(08)
Judul Layanan : Bimbingan dan Konseling
Jenis Layanan : Informasi, Bimbingan Kelompok
Bidang Bimbingan: Pribadi dan Sosial

  1. Fungsi Layanan
    Pemahaman, Pemeliharaan dan Pengembangan
  2. Tujuan Layanan
    Siswa mampu mengenal dan melaksanakan nilai-nilai kehidupan dalam pergaulan hidup sehari-hari

    1. Hasil yang Ingin Dicapai
    2. Memahami arti nilai kehidupan yang selayaknya dimiliki oleh manusia 
    3. Menentukan beberapa nilai kehidupan utama yang dianggap paling penting dalam hidup sehari-hari
    4. Memahami nilai-nilai kehidupan yang ada di tengah masyarakat dan menghargai perbedaan pemilihan nilai kehidupan 
  3. Sasaran Kegiatan
  4. Materi Layanan
  5. Nilai-nilai kehidupan
  6. Pengertian nilai kehidupan
  7. Kategori dan aspek nilai
  8. Beberapa contoh nilai-nilai kehidupan
  9. Tempat Penyelenggaraan 
    Ruang Kelas/Sarana&Prasarana Sekolah/Ruang Bimbingan/Lingkungan Sekolah/ (Menyesuaikan)
  10. Semester : 2/Genap
  11. Penyelenggara Layanan : Guru Pembimbing
  12. Pihak yang dilibatkan : Perwakilan Orangtua / Dll (Menyesuaikan) 
  13. Alat dan Perlengkapan : Skema Nilai Kehidupan / Dll (menyesuaiakan)
  14. Rencana Penilaian dan Tindak Lanjut
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Bentuk WORD(doc)
    Selengkapnya Silahkan DOWNLOAD DISINI File Berbentuk PDF

belajar dan pembelajaran

a. Belajar
Menurut Slavin dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan proses perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Menurut Gagne dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan perilaku.
Sedangkan menurut Bell-Gredler dalam Udin S. Winataputra (2008) pengertian belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam competencies, skills, and attitude. Kemampuan (competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitude) tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat.
Ciri-ciri belajar adalah : (1) Belajar harus memungkinkan terjadinya perubahan perilaku pada diri individu. Perubahan tersebut tidak hanya pada aspek pengethauan atau kognitif saja tetapi juga meliputi aspek sikap dan nilai (afektif) serta keterampilan (psikomotor); (2) perubahan itu merupakan buah dari pengalaman. Perubahan perilaku yang terjadi pada individu karena adanya interaksi antara dirinya dengan lingkungan . interaksi ini dapat berupa interaksi fisik dan psikis; (3) perubahan  perilaku akibat belajar akan bersifat cukup permanen.
b. Pembelajaran
Menurut Gagne, Briggs, dan wagner dalam Udin S. Winataputra (2008) pengertian pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa.
Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkingan belajar.
Ciri utama dari pembelajaran adalah inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan proses belajar siswa. Sedangkan komponen-komponen dalam pembelajaran adalah tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi pembelajaran.

MODEL-MODEL BELAJAR DAN PEMBELAJARAN


MODEL-MODEL BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1. Pendahuluan
Makin maju ilmu pengetahuan mengakibatkan tiap generasi harus meningkatkan pola frekuensi belajarnya. Agar pendidikan dapat dilaksanakan lebih baik tidak terkait oleh aturan yang mengikat kreativitas pembelajar, kiranya tidak memadai hanya digunakan sumber belajar, seperti dosen/guru, buku, modul, audio visual, dan lain-lain, maka hendaknya diberikan kesempatan yang lebih luas dan aturan yang fleksibel kepada pebelajar untuk menentukan strategi belajarnya.
Pola pembelajaran tradisional yang dikenal adalah di mana pengajar mempunyai kedudukan sebagai satu-satunya sumber belajar, menentukan isi dan metode belajar, serta menilai kemampuan belajar pebelajar dalam pembelajaran. Maka untuk itu dikembangkanlah berbagai metode pembelajaran yang sesuai untuk dapat mempertinggi proses belajar dan dapat mempertinggi hasil belajar. Ada beberapa alas an, mengapa media pembelajaran dapat mempertinggi hasil belajar. Media pembelajaran yang dipersiapkan secara khusus oleh kelompok pengajar media yang berinteraksi dengan pembelajar secara tidak langsung, yaitu melalui media, pengajar kelas dan pengajar media. Pola pembelajaran yang demikian dapat digambarkan sebagai berikut:


Pola pemelajaran tersebut menggambarkan tanggung jawab bersama antara pengajar dan media, dan meningkatkan profesional pengajar. Di samping memperbanyak media pembelajaran juga mendesain bahan pembelajaran yang lengkap, sistematis, dan terprogram untuk keperluan belajar mandiri pembelajar. Oleh karena itu, kehadiran pengajar dapat sepenuhnya digantikan oleh media yang diciptakan. Media semacam ini disebut pengajar media. Pola pembelajaran ini adalah sebagai berikut:

4. Model-Model Pengembangan Pembelajaran 
Dewasa ini ada beberapa model pengembangan pembelajaran dan setiap model pengembangan pembelajaran memiliki keunggulan dan keterbatasan. Model-model pengembangan pembelajaran antara lain : model Briggs, model PPSI, model Elaborasi, model kemp, model Dick and Carey, model Gerlach dan Ely, Model Bela H.Banaty, model Merril, model IDI, model Degeng, model pembelajaran konstekstual, dll
Pada pengembangan ini ada enam model pembelajaran yang memiliki model yang berbeda, yaitu:
1. Model Elaborasi (1975)
Model Elaborasi, berorientasi pada cara untuk mengorganisasi pembelajaran, mulai dengan memberikan kerangka isi dari bidang studi yang diajarkan. Kemudian memilah isi bidang studi menjadi bagian-bagian, memilah tiap-tiap bagian menjadi sub-sub bagian, mengelaborasi tiap-tiap bagian, demikian seterusnya sampai pembelajaran mencapai tingkat keterincian tertentu sesuai spesiikasi tujuan.
2. Model PPSI (1976)
Model PPSI, memandang pengajaran sebagai suatu sistem. Bagian-bagian atau sub-sistem dari pengajaran, meliputi tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, kegiatan pembelajaran, alat-alat dan sumber pembelajaran dan evaluasi. Semua komponen tersebut diorganisir sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dapat berfungsi secara harmonis. 
Tugas guru dalam PPSI adalah menyusun urutan langkah-langkah sehingga tersusun suatu urutan-urutan system pengajaran yang baik. Adapun urutan langkah-langkah dalam PPSI itu adalah sebagai berikut:
" Merumuskan tujuan instruksional khusus
" Menyusun alat evaluasi
" Menetapkan kegiatan pembelajaran 
" Merancang program pengajaran 
" Malaksanakan program

3. Model Kemp (1985)
Model Kemp, berorientasi pada perancangan pembelajaran yang menyeluruh dengan sasaran guru sekolah dasar dan sekolah menengah, dosen perguruan tinggi, pelatih di bidang industry, serta ahli media yang akan bekerja sebagai perancang pembelajaran.
Menurut Miarso dan Soekamto, model pembelajaran Kemp dapat digunakan di semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Ada 4 unsur yang merupakan dasar dalam membuat model kemp:
" Untuk siapa program itu dirancang? (ciri pebelajar)
" Apa yang harus dipelajari? (tujuan yang akan dicapai)
" Bagaimana isi bidang studi dapat dipelajari dengan baik? (metode/strategi pembelajaran)
" Bagaimana mengetahui bahwa proses belajar telah berlangsung? (evaluasi)

4. Model Dick and Carey (1990)
Model Dick and Carey, berorientasi pada hasil dan sistem.Karena dengan menerapkan model ini, maka akan menghasilkan bahan pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan model pengembangan ini menerapkan langkah-langkah yang sistematis.
Model Dick & Carey dimulai dengan mengenali tujuan pembelajaran, melakukan analisis pembelajaran , mengenali tingkah laku masukan dan karakteristik pebelajar, merumuskan tujuan performasi, mengembangkan strategi pembelajaran, mengembangkan dan memilih materi pembelajaran, mendesain dan melakukan penilaian normative. Kemudian langkah terakhir ialah memperbaiki atau merevisi pembelajaran.


5. Model Degeng (1990 dan 1997)
Memberi keluwesan dan keleluasaan bagi desainer dan pengembang untuk mengembangkan gagasan dan menuangkannya dalam karya nyata pada produk pengembangannya. Hal tersebut tergambar secara kronologis tentang penyampaian dari hal-hal mendasar atau konseptual, prinsip, dan berurutan. Pada posisi ini, pembelajaran disusun melalui langkah-langkah penyampaian tujuan, pengambaran dalam epitome dan penjabaranya.
Kandungan prinsip teori Elaborasi yang adaptasi dalam Model Degeng (1990, 1997) sejalan dengan prinsip-prinsip umum pembelajaran dikemukakan oleh para ahli dan mengikuti norma umum pembelajaran yang menggunakan teori sistem (Muhamad, 1999).
Model Degeng termasuk model pengembangan pembelajaran:
" Classroom focus yaitu: pembelajaran yang didalamnya melibatkan; pengajar, pembelajar, kurikulum, dan fasilitas;
" Untuk pengembangan paket pembelajaran digunakan secara klasikal dan individual;
" Untuk pengembangan pembelajaran pada kappabilitas belajar fakta, konsep, prosedur dan prinsip
" Dalam pengorganisasian isi pembelajaran menggunakan teori Elaborasi baik pada strategitingkat mikro maupun macro;
" Bersifat prespektif, yaitu pembelajaran yang berorientasi pada tujuan dan pemecahan belajar, dan
" Memiliki langkah-langkah yang lengkap dan mampu memberikan arahan detail sampai padatingkat produk yang jelas

6. Model CTL (1986,2000)
Model Pembelajaran konstekstual (Constextual Teaching and Learning(CTL)), merupakan konsep belajar yang membantu guru yang mengaitkan antara bahan/materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata pebelajar dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi pembelajar.
Pembelajaran konteksual (Contextual Teaching and learning(CTL)), adalah konsep belajar yang membantu pengajar mengaikan antara bahan/materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata belajar dan mendorong pembelajar membuat hubungan antara pengetahuan yang demikian dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuan komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstrutivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan dan penilaian sebenarnya.
Penerapan CTL dalam pembelajaran di kelas
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen dalam pembelajaranya, yaitu konstrutivisme,menemukan , bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya
Desain Model Pembelajaran Berbasis CTL
Dalam pembelajaran CTL, program pembelajaran lebih merupakan kegiatan kelas didesain pengajar, yang berisi scenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama pembelajar sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya.
Penyusunan desain program pembelajaran berbasis CTL adalah sebagai berikut:
¢ Nyatakan kegiatan utama pembelajaranya, yaitu sebuah peryataan kegiatan pembelajar yang merupakan gabungan antara kompetisi dasar, materi/bahan pokok, dan indicator pencapaian hasil bekajar.
¢ Nyatakan tujuan umum pembelajaran 
¢ Rincian media untuk mendukung kegiatan itu
¢ Buatlah scenario tahap demi tahap kegiatan pemblajar.
¢ Nyatakan authentic assessment-nya yaitu dengan data apa pembelajar dapat diamati partisipasinya dalam authentic assessment-nya.

mengenal sistem e learning

Plus Minus E-learning

Seperti Sebagaimana yang disebutkan di atas, e-learning telah mempersingkat waktu pembelajaran dan membuat biaya studi lebih ekonomis. E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik dengan bahan/materi, peserta didik dengan dosen/guru/instruktur maupun sesama peserta didik. Peserta didik dapat saling berbagi informasi dan dapat mengakses bahan-bahan belajar setiap saat dan berulang-ulang, dengan kondisi yang demikian itu peserta didik dapat lebih memantapkan penguasaannya terhadap materi pembelajaran.
Dalam e-learning, faktor kehadiran guru atau pengajar otomatis menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Hal ini disebabkan karena yang mengambil peran guru adalah komputer dan panduan-panduan elektronik yang dirancang oleh "contents writer", designer e-learning dan pemrogram komputer.
Dengan adanya e-learning para guru/dosen/instruktur akan lebih mudah :
  1. melakukan pemutakhiran bahan-bahan belajar yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang mutakhir
  2. mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna meningkatkan wawasannya
  3. mengontrol kegiatan belajar peserta didik.
Kehadiran guru sebagai makhluk yang hidup yang dapat berinteraksi secara langsung dengan para murid telah menghilang dari ruang-ruang elektronik e-learning ini. Inilah yang menjadi ciri khas dari kekurangan e-learning yang tidak bagus. Sebagaimana asal kata dari e-learning yang terdiri dari e (elektronik) dan learning (belajar), maka sistem ini mempunyai kelebihan dan kekurangan.

[sunting]Sejarah dan Perkembangan E-learning

E-pembelajaran atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illinoisdi Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruction ) dan komputer bernama PLATO. Sejak itu, perkembangan E-learning dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
(1) Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan AUDIO) DALAM FORMAT mov, mpeg-1, atau avi.
(2) Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara massal.
(3) Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak , dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, SCORM, IEEE LOM, ARIADNE, dsb.
(4) Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah, dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia , video streaming, serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar, dan berukuran kecil.

[sunting]eLearning 2.0

Istilah e-Learning 2.0 digunakan untuk merujuk kepada cara pandang baru terhadap pembelajaran elektronik yang terinspirasi oleh munculnya teknologi Web 2.0. Sistem konvensional pembelajaran elektronik biasanya berbasis pada paket pelajaran yang disampaikan kepada siswa dengan menggunakan teknologi Internet (biasanya melalui LMS). Peran siswa dalam pembelajaran terdiri dari pembacaan dan mempersiapkan tugas. Kemudian tugas dievaluasi oleh guru. Sebaliknya, e-learning 2.0 memiliki penekanan pada pembelajaran yang bersifat sosial dan penggunaan perangkat lunak sosial (social networking) seperti blog, wiki, podcast dan Second Life. Fenomena ini juga telah disebut sebagai Long Tail learning.
Selain itu juga, E-learning 2.0 erat hubungannya dengan Web 2.0, social networking (Jejaring Sosial) dan Personal Learning Environments (PLE).

psikologi pendidikan

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

 

A.     Pendahuluan

Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.

B.     Mendorong Tindakan Belajar

             Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan  informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar

Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1.   Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2.   Faktor Psikologis
     Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar      
     jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara
     terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1.   Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2.  Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3.  Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima  kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.
2.4.  Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5.  Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

penerapan multiple inteliegences dalam sistem pembelajaran

Penerapan Multiple Intelligences
dalam Sistem Pembelajaran

                                              Abstrak
pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika
dan bahasa dalam proses pembelajaran di kelas sudah waktunya
diubah dengan kecerdasan majemuk yang pada dasarnya adalah
sinergi dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ). Diharapkan penerapan konsep kecerdasan majemuk
dalam pembelajaran akan meningkatkan kemampuan siswa belajar.
Kata kunci: Kecerdasan, pembelajaran, siswa

                                                Abstract
The traditional concept which focus only to the logical ability and language
ability in learning process, need to be changed with the multiple intelegences.
Infact, the muliple intelegences itselfs is the development or the sinergizer of
the Intelectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), and Spiritual Quotient
(SQ). It is hoped that the application of the Multiple Intelegences in the learning
process will improve the student’s ability in learning.
                                         Pendahuluan
Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun
orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar
dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat
akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun mencanangkan program
wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba
mengakomodasi kebutuhan siswa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
bukan hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta yang
mulai melirik dunia pendidikan dalam mengembangkan usahanya. Sarana
untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih
dirasakan sangat kurang dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan
68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005

Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
pendidikan. Hal ini terlihat dengan semakin menjamurnya sekolah-sekolah
swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi.
Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas
adalah masih banyaknya sekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di
dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada
kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan
yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak,
bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak
didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian
sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang
semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi.
Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut, di
atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musical, visual-spatial,
interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Kompas, 6 Agustus 2003). Jenisjenis
kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan
jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada
tahun 1983.
Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orangorang
yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan
bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orangorang
yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti
artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs,
dan lain-lain.
Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta
(gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak
yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled”
atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola
pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak
sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi
delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas
karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan
bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik
untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya
dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan
masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang
lain.

Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 69
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika
(matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri
setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yayasan Insan Kancil (Kompas, 13 Oktober 2003),
pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah
Dasar. Sekitar 99 persen, Taman Kanak-Kanak mengajarkan membaca,
menulis, dan berhitung. Artinya, pendidikan Taman Kanak-Kanak telah
menekankan pada kecerdasan akademik, tanpa menyeimbanginya dengan
kecerdasan lain. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan
oleh guru-guru masih tetap mementingkan akan kemampuan logika
(matematika) dan bahasa.

Menurut Moleong, dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK), guru dan orang tua hendaknya bersinergi dalam mengembangkan
berbagai jenis kecerdasan, terutama terhadap anak usia dini. Hal ini
dimaksudkan agar siswa tidak gagap dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Anak-anak usia 0 – 8 tahun harus diperkenalkan dengan
kecerdasan jamak (Multiple Intelligences). Guru hendaknya tidak terjebak
pada kecerdasan logika semata.
Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada
dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu
dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal
memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003).
Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap
insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah
pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika
(matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerja
sama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis
kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di
lingkungan lembaga pendidikan?
Tinjauan Pustaka

Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar
kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam
pola pikirnya yang unik.                                                                                                                                    
Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983)
yaitu:
Linguistic Intelligence (Word Smart)
Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau
membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang
70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan
berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya.                                                                                                                                                                         
Logical – Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan logical–mathematical yang tinggi
memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering
bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut
penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka
mengklasifikasikan benda dan senang berhitung.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    
Visual – Spatial Intelligence (Picture Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir
secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery),
sehingga cenderung imaginatif dan kreatif.

Bodily – Kinesthetic Intelligence (Body Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang
bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan,
keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka
mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya.

Musical Intelligence (Music Smart)
Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan
mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi
lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan
beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata
musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam
sebuah komposisi musik.
Interpersonal Intelligence (People Smart)
Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang
baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu
mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga
mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain,
serta mampu bekerja sama denganm orang lain.
Intra personal Intelligence (Self Smart)
Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan
perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan
mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang
dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial.
Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 71
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Naturalist Intelligence (Nature Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan
yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat
dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan
fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang,
pertumbuhan tanaman, dan tata surya.
E xistence Intelligence
Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap
mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti
kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang
dihadapinya.
Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999.
Saran Aplikasi
Pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan pada kemampuan logika
(matematika) dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk ceramah mungkin
membosankan siswa. Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara
yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar
yang lebih efektif.
Cara-cara penyampaian materi pelajaran yang dapat digunakan oleh guru
sebagai berikut:
- Kata-kata (Linguistic Intelligence)
- Angka atau logika (Logical -Mathematical Intelligence)
- Gambar (Visual -Spatial Intelligence)
- Musik (Musical Intelligence)
- Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence)
- Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence)
- Refleksi diri (Intrapersonal Intelligence)
- Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence)
- Peristiwa (Existence Intelligence)
Sebagai contoh, jika Anda mengajarkan ekonomi tentang Hukum permintaan
pasar (Law of Supply and Demand ), maka siswa diharapkan membaca materi
yang akan disampaikan (Linguistic), mempelajari formula matematika untuk
mengetahui perhitungan tentang banyaknya permintaan atau supply (Logical-
Mathematical), membuat grafik yang mengilustrasikan hukum permintaan
tersebut (Visual – Spatial), mengamati / mengobservasi secara langsung di
pasar (Naturalist), mengamati sistem perdagangan yang dilakukan oleh orangorang
pada umumnya (Interpersonal).
72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Pengajaran satu materi tidak perlu harus menggunakan ke sembilan
kecerdasan secara serentak. Pilihlah kecerdasan yang sesuai dengan konteks
pembelajaran itu sendiri.
Sebenarnya dalam melaksanakan proses belajar yang menggunakan
kerangka Multiple Intelligences tidaklah sesulit yang dibayangkan. Yang
dibutuhkan hanyalah kreativitas dan kepekaan guru. Artinya setiap guru harus
bisa berpikir secara terbuka yaitu keluar dari paradigma pengajaran tradisional,
mau menerima perubahan, serta harus memiliki kepekaan untuk melihat setiap
hal yang bisa digunakan di lingkungan sekitar dalam menunjang proses belajar.
Laboratorium hidup yang terbesar adalah dunia ini. Untuk mengembangkan
proses pengajaran dengan menggunakan Multiple Intelligences, sarana dan
prasarana yang dibutuhkan sebenarnya telah tersedia di lingkungan sekitar.
Artinya bahwa pendidikan tidaklah harus di dalam kelas. Tidak harus
menggunakan peralatan yang canggih. Siswa bisa diajak keluar kelas untuk
mengamati setiap fenomena yang terjadi di dunia nyata. Siswa tidak hanya
dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa teori
yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan
dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam.
Vernon A. Magnesen (1983), (DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie,
Sarah Singer, 2000) menjelaskan bahwa kita belajar 10% dari apa yang kita
baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari
apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa
yang kita katakan dan lakukan. Artinya seseorang bisa menyerap informasi
paling banyak pada saat dia melakukan atau mempraktekkan materi yang
diterimanya.
Kadang-kadang kita berpikir bahwa untuk menerapkan berbagai metode
pengajaran yang berkembang akhir-akhir ini diperlukan suatu peralatan yang
canggih untuk menunjang proses belajar. Padahal yang sebenarnya tidaklah
demikian. Di dalam menerapkan Multiple Intelligences di dalam proses
pengajaran dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya dengan
menggunakan musik untuk mengembangkan Musical Intelligence, belajar
kelompok untuk mengembangkan Interpersonal Intelligence, aktivitas seni untuk
mengembangkan Visual-Soatial Intelligence, role play untuk mengembangkan
Bodily-Kinesthetic Intelligence, perjalanan ke lapangan (Field Trips) untuk
mengembangkan nature Intelligence, menggunakan Multimedia, refleksi diri
untuk megembangkan Intra personal Intelligence, dan lain-lain.
Keluar dari pola kebiasaan mengajar yang lama yaitu pengajaran yang
hanya menekankan pada metoda ceramah sangatlah sulit, karena manusia
cenderung tidak mau keluar dari zona nyaman sebagaimana yang diungkapkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 73
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
oleh DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000 di dalam
bukunya yang berjudul Quantum Teaching. Manusia cenderung akan tetap
mempertahankan kebiasaannya dan tidak mau mengambil risiko, karena untuk
berubah berarti mereka dihadapkan pada resiko dari perubahan itu sendiri
yang seringkali ‘menakutkan’.
Penerapan multiple Intelligences di dalam proses belajar mengajar tidak
harus menunggu perintah dari atasan. Guru yang mencoba menerapkan Multiple
Intelligences, berinisiatif untuk mencoba keluar dari zona nyaman agar
pengajaran dapat dilakukan seefektif mungkin dan sesuai dengan kebutuhan
siswa. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa guru adalah orang yang langsung
terlibat di lapangan yang mengetahui secara jelas kebutuhan dan keunikan
dari setiap siswa.
Kenyataan, saat ini adalah kurangnya guru-guru yang memiliki inisiatif
untuk mencoba keluar dari pola pengajaran tradisional, meskipun dari pihak
atasan menfasilitasi dan mengadakan pembinaan bagi setiap guru agar dapat
mengembangkan diri agar dapat menyampaikan materi pelajaran seefektif
mungkin.
Upaya menerapkan Mulitiple Intelligences bukan hanya tanggung jawab
guru dan kepala sekolah saja, tetapi pihak orang tua pun perlu dilibatkan. Kita
harus bersinergi dengan pihak orang tua. Orang tua pun memiliki andil dalam
menentukan cara belajar anaknya. Masih banyak orang tua yang memiliki
pola pikir tradisional dalam memandang kemampuan yang harus dicapai oleh
anaknya. Mereka masih memandang anaknya bodoh, jika anaknya tidak pandai
dalam matematika atau bahasa. Pola pikir orang tua seperti itu harus diubah.
Pihak sekolah hendaknya mengadakan seminar bagi orang tua. Seminar itu
menjelaskan bahwa kecerdasan anak bukan hanya dipandang dari kemampuan
matematika dan bahasa, melainkan masih banyak kemampuan lainnya yang
dapat dikembangkan sesuai dengan keunikan anak. Jika pandangan baru ini
diberikan kepada orang tua, diharapkan setiap orang tua dapat mendukung
pihak sekolah untuk mengembangkan Multiple Intelligences. Salah satu bentuk
peran serta orang tua dalam pengembangan Multiple Intelligences adalah
dengan tidak memaksakan anak untuk hanya menguasai kemampuan
matematika dan bahasa, tetapi mereka pun dapat membimbing dan
mengarahkan anaknya sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Selain mengadakan seminar, kerja sama pihak sekolah dengan orang tua
dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran Wali Kelas dan guru Bimbingan
Konseling dengan cara melakukan pertemuan berkala dengan pihak orang
tua. Kerja sama ini dilaksanakan dalam upaya untuk memantau setiap
74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
perkembangan anak dan mengamati keunikan setiap anak, sehingga
pendidikan bisa diberikan sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya masingmasing.
Manfaat Penerapan Multiple Intelligences
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple
Intelligence di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan.
1. Kita dapat menggunakan kerangka Multiple Intelligences dalam
melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa dilakukan
seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat
suatu pertunjukan. Dapat menjadi ‘pintu masuk’ yang vital ke dalam
proses belajar. Bahkan siswa yang penampilannya kurang baik pada saat
proses belajar menggunakan pola tradisional (menekankan bahasa dan
logika), jika aktivitas ini dilakukan akan memunculkan semangat mereka
untuk belajar.
2. Dengan menggunakan Multiple Intelligences. Anda menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat,
dan talentanya.
3. Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat di dalam
mendukung proses belajar mengajar. Hal ini bisa terjadi karena setiap
aktivitas siswa di dalam proses belajar akan melibatkan anggota
masyarakat.
4. Siswa akan mampu menunjukkan dan ‘berbagi’ tentang kelebihan yang
dimilikinya. Membangun kelebihan yang dimiliki akan memberikan suatu
motivasi untuk menjadikan siswa sebagai seorang ‘spesialis’.
5. Pada saat Anda ‘mengajar untuk memahami’ , siswa akan mendapatkan
pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk
mencari solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Kesimpulan
Setiap siswa memiliki keunikannya masing-masing. Mereka memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Pandangan
yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang dapat dilihat berdasarkan
hasil tes IQ sudah tidak relevan lagi karena tes IQ hanya membatasi pada
kecerdasan logika (matematika) dan bahasa. Saat ini masih banyak sekolah
yang terjebak dengan pandangan tradisional tersebut. Masih banyak guru
yang hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Teori Multiple Intelligences, mencoba untuk mengubah pandangan bahwa
kecerdasan seseorang hanya terdiri dari kemampuan Logika (matematika)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 75
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
dan bahasa. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat
sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan
antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari
kecerdasan tersebut.
Teori Multiple Intelligences mampu menjembatani proses pengajaran yang
membosankan menjadi suatu pengalaman belajar yang menyenangkan dan
Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan pada
kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam
kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki
kesan yang mendalam. Selain itu proses pendidikan dapat mengakomodir
setiap kebutuhan siswa dan sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Jika sekolah ingin menerapkan Multiple Intelligences di dalam sistem
pendidikannya, maka dibutuhkan inisiatif dari setiap guru untuk mencoba
memulai dan bersedia untuk keluar dari ‘zona nyaman’nya masing-masing.
Guru dan orang tua harus bersinergi agar memiliki pandangan yang sama di
dalam memberikan pendidikan bagi anak sesuai dengan kebutuhan dan
keunikannya masing-masing. Kesamaan pandangan dapat diciptakan melalui
pertemuan berkala antara Wali Kelas dan Guru Bimbingan Konseling dengan
orang tua.
Daftar Pustaka
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer. (2000). Quantum teaching.
Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung:
PT. Mizan Pustaka
Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan Majemuk). Batam:
Interaksara
http://www.cookps.act.edu.au/mi.htm
http://www.kompas.com/Kecerdasan intelektual tak cuma logika dan bahasa/
6 Agustus 2003
http://www.kompas.com/Sambut kurikulum 2004 dengan kecerdasan jamak/
13 Oktober 2003
http://www.thomasarmstrong.com/multiple_intelligences.htm
http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/mi/index_sub7.html